Jual Lem Murah - Pendidikan, dapat diakui semua orang, adalah landasan utama peradaban. Masa-masa sebelum manusia mendapatkan akses pada pendidikan disebut masa kegelapan. Bahkan, masa sejarah baru dimulai ketika suatu tempat mengenal aksara. Tak heranlah pendidikan mendapat porsi yang agung dalam catatan manusia.
Dahulu, pendidikan dibatasi hanya kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Pasalnya, orang-orang tidak terdidik akan lebih mudah untuk dibelokkan sesuai keinginan penguasa. Pendidikan menjadi kunci pembebasan. Sejumlah ilmuwan masa lampau berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan akibat kesempatan tak terduga mengenyam kemewahan ini. Di Tiongkok, gelar sarjana adalah sesuatu yang teramat dihormati, menjadikan putra seorang buruh tani sejajar dengan putra perwira.
Sebuah bangsa bertahan melintas masa karena rakyatnya.
Sumber daya manusia yang berkualitas dapat mengatasi rintangan seperti apapun. Para pejuang Indonesia mengerti akan hal ini. Malah, pergerakan kemerdekaan Indonesia digerakkan oleh kaum terpelajar, persis seperti yang ditakuti para penjajah dahulu. Perlahan, akses menuju pendidikan dibuka ke lapisan masyarakat yang lebih luas, dimulai dari Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa-nya.
2015 Pemerataan pendidikan kini dapat terlihat melalui tingkat kemelekhurufan dan minat baca. Di Indonesia, tengah berjalan serangkaian program di bawah payung 'Revolusi Mental' besutan Presiden Joko Widodo semenjak terpilihnya setahun yang lalu. Sudah barang tentu, pendidikan adalah sektor hangat untuk disentuh. Sekilas, Indonesia nampak berjalan cukup baik beberapa tahun belakangan. Data UNESCO dan UNICEF menunjukkan keberhasilan yang konsisten dalam pengentasan buta huruf. Selain itu, lebih dari 90% putra-putri Indonesia usia sekolah dasar berada di bangku sekolah. Bergerak ke aspek berikutnya, di sinilah pil pahit harus ditelan. Tingkat kemelekhurufan tak diimbangi kenaikan minat baca yang sepadan. Indonesia masih berada di posisi yang menyedihkan, seperti yang diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sendiri di sebuah wawancara.
Jual Lem Murah - Apa hubungan minat baca dengan pendidikan, apalagi Revolusi Mental? Penelitian menunjukkan sejumlah kaitan yang signifikan. Anak-anak yang membaca untuk kesenangan berpotensi lebih tinggi untuk berhasil secara akademis dibandingkan teman sebayanya menurut Sullivan dan Brown (2013). Penelitian yang sama juga mendapati bahwa kegiatan membaca berdampak lebih pada perkembangan kognitif anak dibandingkan tingkat pendidikan orang tua. Hasil yang senada juga ditemukan oleh peneliti lain. Cunningham dan Stanovich merilis sebuah makalah pada tahun 1998 yang menunjukkan bahwa kebiasaan membaca mempengaruhi kemampuan memahami situasi, membuat perkiraan lanjutan berdasarkan informasi dasar, serta membedakan kabar dari kebohongan. Di samping itu, kemampuan yang berkaitan langsung dengan kebahasaan seperti pengemukaan pendapat akan mengalami pertumbuhan pesat. Seakan belum cukup, hasil riset National Endowment for the Arts pada 2007 bahkan menemukan hubungan antara minat baca dan peluang karir, bahkan kecenderungan menjadi pelaku kriminal.
Berdasarkan uraian di atas, bukankah minat baca menjadi sebuah tolok ukur yang begitu sesuai untuk Revolusi Mental? Sayangnya, buku masih belum menjadi sebuah kebutuhan dalam masyarakat kita. Masyarakat, terutama dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, tidak terbiasa menyediakan anggaran untuk pembelian bahan bacaan (Puspitasari, 2006). Hal ini diperparah lagi dengan sedikitnya jumlah perpustakaan dan toko buku dibandingkan jumlah penduduk. Persebarannya pun masih sangat tidak merata, terpusat di kota-kota besar terutama di pulau Jawa.
Persentase minat baca di Indonesia saat ini hanya 0, 01 persen berdasarkan data yang dihimpun UNESCO. Menurut Bank Dunia, minat baca Indonesia di kalangan pelajar tingkat dasar adalah 51, 7%. Sebagai perbandingan, Hongkong dan Singapura di peringkat teratas masing-masing mencatatkan 75, 5% dan 74%. Seno Gumira Ajidarma pernah berpidato pada tahun 1997 pasal timpangnya tingkat melek huruf dan minat baca. Saat ini, 18 tahun berselang, keadaan tak jauh berbeda.
Salah satu penyebab kurangnya desakan untuk membaca sebagai sebuah hobi atau kesenangan di kalangan siswa sekolah mungkin dapat diatribusikan pada fanatisme masyarakat kita pada angka dan ujian terstandardisasi. Bagaimana ada waktu luang untuk membaca, apabila pelajar mesti mengikuti bimbingan belajar di sana-sini? Kala jeda untuk istirahat menjelang, menjadi wajarlah bahwa bacaan tidak lagi menjadi pilihan hiburan. Apalagi, yang tidak diwajibkan oleh pihak sekolah untuk menambah nilai. Perpustakaan sekolah dengan koleksi beragam dan suasana nyaman niscaya akan mendorong siswa untuk mengunjunginya. Akan lebih baik lagi apabila sekolah dapat menciptakan sebuah perioda kosong untuk membaca. Tanpa tugas tambahan, tidak meringkas, tidak menyadur, tidak menjelaskan isi bacaan. Hanya membaca, menyatu dengan hening.
Selain itu, masih ada juga kecenderungan untuk memisah-misahkan sebuah bahan bacaan ke dalam berbagai kategori yang memusingkan, dan memberi label pada setiap kumpulan. Konon, orang tua dan pendidik gemar sekali membuat dikotomi mereka sendiri perihal 'mendidik' dan 'tak mendidik'. Akibatnya, anak-anak tak dapat mendekati dunia bacaan karena publikasi yang menarik minat mereka sebagian besar tergolong 'tak mendidik'. Padahal, segala hal dimulai dari perkenalan. Bagaimana berharap terjalinnya hubungan serius, bila kesempatan bertemu saja tak pernah ada? Ketika orang dewasa menjejalkan judul-judul tertentu pada anak-anak mereka tanpa pernah membiarkan mereka memilih sendiri apa yang akan dibaca, bukankah akan timbul asosiasi bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah keterpaksaan? Satu lagi buah rezim otoriter dari mereka yang kebetulan lahir terlebih dahulu?
Pepatah lama mengatakan 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'.
Jual Lem Murah - Agak sulit mengharapkan seorang anak tumbuh bergelimang kata-kata apabila orang tuanya tak terlihat punya antusiasme serupa. Keluarga, sebagai institusi sosial yang pertama dihadapi setiap pribadi, menjadi pembentuk utama seseorang sebelum Ia mengenal lingkungan yang lebih luas. Hal-hal sederhana seperti membiasakan kunjungan keluarga ke toko buku atau perpustakaan, pemberian buku sebagai hadiah, menjadikan membaca bersama sebagai tradisi keluarga, akan membantu mengasosiasikan buku dengan saat-saat yang menyenangkan. Tentu saja, orang tua dan pendidik mesti pula meluangkan waktu untuk larut dalam buaian makna dan suasana. Tidak usah memaksakan diri membaca buku setebal kamus di tengah kepadatan pekerjaan. Bahkan, berlangganan koran dan majalah sudah dapat membantu penyuasanaan.
Satu lagi, sulit dipungkiri bahwa lemahnya niat baca masih berkaitan erat dengan rerata kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia. Daya beli buku masih terkalahkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari seperti sembako. Di sinilah dibutuhkan peran lebih dari anggota masyarakat yang lebih berkecukupan, juga pemerintah.
Bagi pemerintah, hendaknya disusun perencanaan pemerataan jumlah perpustakaan berdasarkan data demografi. Kemudian, menjadikan perpustakaan-perpustakaan ini penyerap pasokan dari toko buku. Dengan hubungan timbal-balik ini diharapkan terjadi kenaikan pada bisnis perbukuan dan memberi motivasi bagi para penulis.
Bagi komunitas, taman bacaan rumahan dapat menjadi solusi. Program pemberdayaan masyarakat berdasarkan kepedulian sesama masyarakat ini sudah ada di beberapa daerah di Indonesia. Umumnya, hambatan yang terjadi adalah minimnya dana, sumber daya manusia, dan sulitnya menemukan lokasi yang strategis (Septiana, 2007). Ratri Indah Septiana, sang penulis, menganjurkan agar perpustakaan berbasis komunitas juga menjalin sinergi dengan perpustakaan binaan pemerintah, mengadakan program pemberdayaan yang lain sebagai pelengkap, serta memastikan bahwa perpustakaan yang didirikan cocok dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Melalui saran-saran ini, marilah kita berharap bahwa Revolusi Mental seperti yang dicanangkan dan dibayangkan oleh Presiden Joko Widodo dapat terwujud sebagaimana mestinya dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Daripada kerap mengkritik, jauh lebih baik untuk berbenah bersama, sebab tanah air adalah satu. Pendidikan bukan sekadar angka di laporan tahunan. Membaca masa depan, masa depan membaca.
No comments:
Post a Comment